Dalam sejarah industri pertunjukan Indonesia, komedi tunggal adalah sesuatu yang jarang menjadi komoditi. Namun dengan bermunculannya para stand up comedian belakangan ini, wajah dunia hiburan tanah air mulai berubah. “Ini adalah sesuatu hal yang belum pernah terjadi di Indonesia,” kata Pandji Pragiwaksono, seorang comic.
Istilah comic sendiri ternyata berasal dari bahasa Yunani, komikos yang berarti “pertaining to comedy”. Seorang comic akan mempergunakan keahlian verbalnya untuk menampilkan narasi dengan tujuan menciptakan kejenakaan yang tidak jarang dikombinasikan dengan kemampuan non verbal atau visual. Akar stand up comedian sendiri dipercaya sudah ada sejak akhir abad 19 dan lahir di Eropa. Khususnya di Amerika, beberapa comic seperti Woody Allen mulai dikenal untuk gaya komedi cerdas ini terutama pada era 1970-an. Nama-nama lain yang kemudian muncul adalah Seinfeld, Chris Rock, dan Rosie O’Donnel.
Di Indonesia, tidak banyak untuk bisa menyebut komedian yang memiliki ciri khas seorang comic, sampai kemudian pertengahan tahun lalu, Kompas TV memperkenalkan acara Stand Up Comedy Indonesia. Stand Up adalah acara berjenis reality show yang mencari bakat terbaik untuk komedi tunggal—acara yang pertama kalinya diadakan di Indonesia.
Pandji Pragiwaksono adalah seorang comic yang menjadi host untuk Stand Up Comedy Indonesia. Ia menuturkan, acara reality show itu sebagai sesuatu yang hilarious. “Kami melakukan audisi di beberapa kota, mencari orang-orang berbakat komedi,” kata Pandji kepada Inspirasi. Bedanya, kata Pandji, Stand Up tidak mencari orang yang jago melakukan slapstick, jadi modal utamanya hanya kemampuan mengocok perut melalui narasi verbal.
Audisi diikuti oleh ribuan orang. Para finalis kemudian dituntut untuk menampilkan kecerdasan berkomedi didepan juri—antara lain Indro Warkop dan Butet Kertaradjasa, dan audience baik yang menonton mereka secara langsung atau yang menonton melalui layar kaca. Season pertama dimenangkan oleh Ryan Adriandi, seorang comic asal Jakarta. Inilah kelebihan Ryan menurut Pandji. “Ryan memiliki kelengkapan teknis seorang comic, terutama kemampuan impersonating atau meniru orang lain,” kata Pandji.
Bagi Pandji untuk menjadi seorang komedian selalu dibutuhkan kecerdasan pada level tertentu, dan yang terpenting adalah kerja keras dan kedisiplinan. “Dalam dunia comic ada istilah laugh per minute atau tinggi frekuensi tawa yang dihasilkan seorang comic. Semakin tinggi LPM, semakin sukses comic tersebut,” kata Pandji. Selain itu, kata Pandji, ukuran kesuksesan comic masih dipecah menjadi giggle, laughter dan applause. “Semuanya bisa dipelajari melalui latihan,” katanya.
Stand Up Comedy Indonesia kemudian melahirkan tayangan serupa di stasiun TV lain, diantaranya adalah Festival Orang Lucu Indonesia di RCTI dan Stand Up Comedy di Metro TV. Namun, bagi Kompas TV, acara ini seolah menjadi trade mark, apalagi kemudian Stand Up dilanjutkan ke season kedua yang melahirkan pemenang utama, Ge Pamungkas, yang terpilih pada awal Juli lalu.
Untuk menyebut acara ini turut menggerakkan industri hiburan Indonesia adalah kenyataan banyaknya job yang mengalir ke tangan para comic alumni acara ini. Ryan, pemenang Stand Up Comedy Indonesia season pertama, sukses menggelar show perdananya di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 14 Juni 2012 lalu. Di show perdananya ini, Ryan mengangkat kekurangan dirinya menjadi kelebihan, bahkan dijadikannya judul show, “From Tiny To Funny”. Modalnya hanya mikrofon di tangan, memberikan pesan bahwa tubuh mungil untuk ukuran pria tidak menjadi halangan untuk sukses di bisnis pertunjukkan.
Lain halnya dengan Ernest Prakasa, yang mengelaborasi identitasnya sebagai keturunan tionghoa menjadi tema lawakannya. “Dalam penampilannya, Ernest selalu berhasil membawa kita ke dunianya sebagai keturunan tionghoa dan sekaligus mempersembahkan dunia tersebut kepada kita dalam kemasan komedi segar,” komentar Pandji. Ernest yang bermata sipit, juga sudah memiliki tour-nya sendiri yang diberinya judul, Merek Melek Tour. “Berkat menjadi comic, saya bisa tour dengan membawa ide-ide saya sendiri ke Bandung, Semarang, Solo, Denpasar, Malang, Surabaya, Makassar, Kendari, Samarinda, hingga Palangkaraya,” kata Ernest.
Selain melahirkan tayangan televisi dan perjalanan tour keliling, masyarakat kini semakin gandrung dengan segala yang berbau stand up comedy, bahkan termasuk versi DVD dari performance seorang comic. “Belum lama ini, hanya melalui twitter, fans menyerbu DVD Bhineka Tunggal Tawa saya, sehingga persediaan untuk dijual via online, langsung habis,” kata Pandji.
Bhineka Tunggal Tawa adalah acara komedi tunggal Pandji yang diselenggarakan Desember 2011 lalu. Saat itu kapasitas PPHUI sebanyak 422 penonton terisi penuh, dengan tiket berkisar antara Rp 75.000 – Rp 100.000. Virus komedi ini juga kemudian menginsipirasi berdirinya beragam komunitas stand up comedian di berbagai kota di Indonesia.
Ketika gaya komedi tunggal ini mulai disukai masyarakat, memang tidak otomatis gaya slapstick ditinggalkan penggemarnya. Namun setidaknya, seperti yang dikatakan Pandji, masyarakat kini sudah memiliki banyak alternatif lain selain tertawa karena pelawak yang ditimpa pohon yang terbuat dari stereofoam. “Stand up comedian selalu tentang eksplorasi ide, struktur narasi dan kreatifitas, dan yang terpenting ia harus punya ciri khas dan karakter,” kata Pandji.
Kata Pandji, banyak orang memaknai stand up comedy secara harfiah, padahal pengertiannya lebih dari itu. “Seseorang harus stand up untuk mengungkapkan keresahan dan kejujurannya akan suatu topik, jadi ketika berada di panggung, ia tidak hanya sekadar melucu.”